Rabu, 10 Desember 2014

cerpenku 13

Pupus…



Pagi ini mendung. Mengundangku untuk melanjut kembali tidur panjang yang kurasa masih kurang. Menghela napas panjang berusaha untuk mengumpulkan roh-roh diriku yang berkelana entah kemana. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul enam pagi. Seperti biasa, aktivitas pun dimulai. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat ke sekolah. Ya… Aku Sayra siswa kelas sembilan satu.

Setibanya di sekolah, aku disambut ceria teman dekatku. Mereka adalah Yuzee, Vira dan Noel. Kami dikenal sebagai siswa yang sombong di sekolah. Kami lahir dari keluarga yang memiliki pengaruh besar di kota ini. Keluargaku pengusaha, papa Yuzee seorang Bupati, Mama Vira kepala sekolah kami dan kedua orangtua Noel adalah politikus.

Kami dimanjakan oleh uang. Kami selalu nongkrong di cafĂ© atau restoran mahal. Belanja semau yang kami inginkan, tidak peduli berapa nominal uang yang kami buang.  Di sekolah, tidak ada siswa yang menyukai kami. Kami suka membuat onar dan keributan. Tidak ada seorang pun yang bisa melarang kami melakukan ini dan itu.

Pagi itu, kami kedatangan siswa baru dari kota lain. Dia memiliki lesum pipi sebelah kanan dan memiliki mata coklat yang indah. Pada pandangan pertama aku terpesona dengannya. Senyumannya mampu meluluhkan seluruh tubuhku hingga tak berdaya.
“Aku Cleo. Aku baru saja pindah dari Jakarta. Senang berkenalan dengan teman-teman” katanya manis dengan memberi senyuman terbaiknya.
“Oh… Cleo” ucapku dalam hati sambil terus memandanginya.
Aku menyuruh Noel untuk pindah ke belakang agar Cleo duduk disampingku. Dengan kedipan mata, Noel beranjak duduk ke belakang. Memang saat itu semua siswa sudah punya teman satu meja, dan teman yang dibelakangku kebetulan cuma sendiri. Tak ada pilihan, Cleo pun melangkahkan kakinya ke arah kursi kosong di sebelahku. Dag dig dug. Detak jantungku semakin cepat. Aku jadi salah tingkah. Aku berusaha bersikap normal dengan melempar senyum balasan untuk Cleo. Sejak saat itu, aku, Yuzee, Vira, Noel dan Cleo menjadi akrab. Arah jalan rumah kami pun searah. Cleo sering menjemputku saat pergi sekolah. Jarak rumah kami tidak jauh, jadi Cleo sering mengajakku belajar bersama di rumah. Orangtuaku menyukainya karna Cleo ramah dan pintar. Entah kenapa perasaan ini pun tumbuh. Belajar, nongkrong, bermain hingga berangkat sekolah kami lakukan bersama. Semakin kami sering bersama, perasaan ini pun semakin tumbuh dan tumbuh. Hingga akhirnya aku mengenal cinta.

Bel waktu istirahat berbunyi. Para siswa berebut keluar. Aku hanya duduk sambil mencoret-coret buku. Aku kesal melihat Cleo bersama Yuzee. Aku merasa pernapasanku seperti ada yang menekan hingga aku sulit bernapas. Ya, menurutku aku cemburu. Huffh. Mendesah sembari merebahkan kepalaku diatas meja lalu memejamkan mata.

Tidak tahan menahan rasa ini, aku pun menceritakannya pada Noel dan Vira. Mereka terkejut. Keningku mengerut. Ternyata Yuzee pun menyukai Cleo. Tubuhku lemas. “Sahabatku juga menyukainya” kataku dalam hati. Vira dan Noel menyuruhku untuk mengungkapkan perasaan ini. Tapi aku takut. Aku takut ditolak.

Pukul Sembilan malam, kami masih belajar. Aku melihat Cleo begitu senang dan semangat. Beda dari hari biasanya.
“Hari ini kau kelihatan tampak senang sekali. Mengapa kau tidak berbagi kesenanganmu denganku?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Tidak ada yang perlu kubagi denganmu. Aku biasa saja” balasnya.
“Ada yang mau kutanyakan denganmu” sambungku dengan nada sedikit tinggi.
“Katakanlah” balasnya sambil membaca buku.
“Apa yang akan kau lakukan bila teman dekatmu ternyata menyukaimu?” lanjutku lagi.
“Hmm… (berpikir sejenak) Kalau aku sudah menganggapnya teman tapi ternyata ia menyukaiku, jujur aku tidak suka. Teman tetaplah teman. Beberapa teman perempuanku mengaku bahwa mereka menyukaiku, tapi setelah itu aku menjauhi mereka” jawabnya sambil menatap tajam ke dalam mataku.
Aku tersentak. Seolah petir menyambar tubuhku. Aku sudah dapat jawabannya.
“Kenapa kau menanyakan itu Say? Apakah kau sama seperti mereka? Menyukaiku juga?” Tanya Cleo seolah sedang mengintrogasiku.
“Ah tidak. Aku sudah menganggapmu sebagai teman dan saudara” jawabku bohong.
“Oh, syukurlah. Kupikir pertemanan kita ini akan berakhir” jawab Cleo ketus.
Aku menarik napas panjang. Mencoba mencari oksigen dalam ruangan yang penuh kesesakan.


Setelah pembicaraan malam itu, hubunganku dengan Cleo tidak sebaik dulu. Aku jaga jarak dengannya. Mencoba mengubur perasaan ini.