Pupus…
Pagi ini mendung. Mengundangku untuk melanjut kembali tidur panjang yang kurasa masih kurang. Menghela napas panjang berusaha untuk mengumpulkan roh-roh diriku yang berkelana entah kemana. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul enam pagi. Seperti biasa, aktivitas pun dimulai. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat ke sekolah. Ya… Aku Sayra siswa kelas sembilan satu.
Setibanya di sekolah,
aku disambut ceria teman dekatku. Mereka adalah Yuzee, Vira dan Noel. Kami
dikenal sebagai siswa yang sombong di sekolah. Kami lahir dari keluarga yang
memiliki pengaruh besar di kota ini. Keluargaku pengusaha, papa Yuzee seorang
Bupati, Mama Vira kepala sekolah kami dan kedua orangtua Noel adalah politikus.
Kami dimanjakan oleh
uang. Kami selalu nongkrong di café atau restoran mahal. Belanja semau yang
kami inginkan, tidak peduli berapa nominal uang yang kami buang. Di sekolah, tidak ada siswa yang menyukai
kami. Kami suka membuat onar dan keributan. Tidak ada seorang pun yang bisa
melarang kami melakukan ini dan itu.
Pagi itu, kami
kedatangan siswa baru dari kota lain. Dia memiliki lesum pipi sebelah kanan dan
memiliki mata coklat yang indah. Pada pandangan pertama aku terpesona
dengannya. Senyumannya mampu meluluhkan seluruh tubuhku hingga tak berdaya.
“Aku Cleo. Aku baru
saja pindah dari Jakarta. Senang berkenalan dengan teman-teman” katanya manis
dengan memberi senyuman terbaiknya.
“Oh… Cleo” ucapku dalam
hati sambil terus memandanginya.
Aku menyuruh Noel untuk
pindah ke belakang agar Cleo duduk disampingku. Dengan kedipan mata, Noel
beranjak duduk ke belakang. Memang saat itu semua siswa sudah punya teman satu
meja, dan teman yang dibelakangku kebetulan cuma sendiri. Tak ada pilihan, Cleo
pun melangkahkan kakinya ke arah kursi kosong di sebelahku. Dag dig dug. Detak
jantungku semakin cepat. Aku jadi salah tingkah. Aku berusaha bersikap normal
dengan melempar senyum balasan untuk Cleo. Sejak saat itu, aku, Yuzee, Vira,
Noel dan Cleo menjadi akrab. Arah jalan rumah kami pun searah. Cleo sering
menjemputku saat pergi sekolah. Jarak rumah kami tidak jauh, jadi Cleo sering
mengajakku belajar bersama di rumah. Orangtuaku menyukainya karna Cleo ramah
dan pintar. Entah kenapa perasaan ini pun tumbuh. Belajar, nongkrong, bermain
hingga berangkat sekolah kami lakukan bersama. Semakin kami sering bersama,
perasaan ini pun semakin tumbuh dan tumbuh. Hingga akhirnya aku mengenal cinta.
Bel waktu istirahat
berbunyi. Para siswa berebut keluar. Aku hanya duduk sambil mencoret-coret
buku. Aku kesal melihat Cleo bersama Yuzee. Aku merasa pernapasanku seperti ada
yang menekan hingga aku sulit bernapas. Ya, menurutku aku cemburu. Huffh. Mendesah sembari merebahkan
kepalaku diatas meja lalu memejamkan mata.
Tidak tahan menahan
rasa ini, aku pun menceritakannya pada Noel dan Vira. Mereka terkejut. Keningku
mengerut. Ternyata Yuzee pun menyukai Cleo. Tubuhku lemas. “Sahabatku juga
menyukainya” kataku dalam hati. Vira dan Noel menyuruhku untuk mengungkapkan
perasaan ini. Tapi aku takut. Aku takut ditolak.
Pukul Sembilan malam,
kami masih belajar. Aku melihat Cleo begitu senang dan semangat. Beda dari hari
biasanya.
“Hari ini kau kelihatan
tampak senang sekali. Mengapa kau tidak berbagi kesenanganmu denganku?” tanyaku
mengawali pembicaraan.
“Tidak ada yang perlu
kubagi denganmu. Aku biasa saja” balasnya.
“Ada yang mau
kutanyakan denganmu” sambungku dengan nada sedikit tinggi.
“Katakanlah” balasnya
sambil membaca buku.
“Apa yang akan kau
lakukan bila teman dekatmu ternyata menyukaimu?” lanjutku lagi.
“Hmm… (berpikir sejenak)
Kalau aku sudah menganggapnya teman tapi ternyata ia menyukaiku, jujur aku
tidak suka. Teman tetaplah teman. Beberapa teman perempuanku mengaku bahwa
mereka menyukaiku, tapi setelah itu aku menjauhi mereka” jawabnya sambil
menatap tajam ke dalam mataku.
Aku tersentak. Seolah
petir menyambar tubuhku. Aku sudah dapat jawabannya.
“Kenapa kau menanyakan
itu Say? Apakah kau sama seperti mereka? Menyukaiku juga?” Tanya Cleo seolah
sedang mengintrogasiku.
“Ah tidak. Aku sudah
menganggapmu sebagai teman dan saudara” jawabku bohong.
“Oh, syukurlah. Kupikir
pertemanan kita ini akan berakhir” jawab Cleo ketus.
Aku menarik napas
panjang. Mencoba mencari oksigen dalam ruangan yang penuh kesesakan.
Setelah pembicaraan
malam itu, hubunganku dengan Cleo tidak sebaik dulu. Aku jaga jarak dengannya.
Mencoba mengubur perasaan ini.