Make
a wish
Oleh
Indah Simanjuntak
Dengan begitu indah dia memainkan piano yang berada
disudut kanan ruangan gereja. Dia dan piano itu sudah seperti saudara sehingga
mereka begitu akrab dan bersahabat. Mereka seperti satu jiwa dan satu raga.
Tidak hanya jarinya yang menari, tubuhnya pun turut mengikuti irama musik.
Berserah Kepada Yesus. The great song. Siapa pun dia yang memainkan piano
begitu indah, aku telah jatuh cinta padanya. Musik adalah sesuatu yang sering
membuatku jatuh cinta. Terserah jenis musik apapun itu. Meskipun begitu, aku
tidak pernah mencari tahu sosok dia yang setiap minggu bermain piano untuk
Tuhan.
Pohon natal berdiri tegak disudut kiri gereja. Awesome!
Layaknya seorang artis, semua mata yang melihatnya berdecap kagum. Satu dari
miliaran ciptaan Tuhan yang begitu indah. Dihiasi berbagai warna dengan
diperindah pernak-pernik natal. Mataku tidak sekalipun berkedip melihatnya.
“How so wonderful” gumamku dalam hati.
Saat pengakuan iman rasuli, seperti biasa semua
jemaat berdiri. Tak sengaja mataku dan mata dia bertabrakan. Cukup lama kami
saling memandang satu sama lain. Dengan mengenakan kemeja berwarna merah marun
dibalut dasi berwarna gelap, dia begitu berwibawa dan berkarisma. He’s so
handsome. Naara menepuk pundakku mengingatkan. Naara pikir aku sedang melamun.
Ibadah pun usai. Saat hendak keluar gereja, tiba-tiba
kakiku kram. Seluruh tubuhku membeku. “Aaww! “ aku merintih kesakitan. Aku
memegang erat tangan Naara yang sedang berusaha menopang tubuhku berdiri. “Makasih
Naa…” bibirku berhenti mengeluarkan kata-kata saat aku tahu bukan Naara yang
menolongku. Iya, dia si pemain piano itu. Aku tak menyangka. Dia tersenyum
ramah. “Maaf Re, aku bantuin ibu hamil tadi” kata Naara meminta maaf. Tangannya
masih menopang tubuhku. “Kebetulan aku lewat dan tiba-tiba dia terjatuh”
sambung si pemain piano menjelaskan alasan dia memegangku. “Makasih” balas
Naara sembari berusaha menopangku darinya. Aku masih tertegun menatapnya. Dia
seperti malaikat.
“Namaku Yoas Eleazar. Aku pemain piano di gereja ini”
sambil menyalam aku dan Naara.
“Naara Asriel”.
“Refaya Eliezer”.
“Haha (tertawa) nama kita hampir mirip. Eleazar dan
Eliezer. Senang berkenalan dengan kalian. Selamat hari minggu” sambung Yoas.
Setelah insiden itu, aku selalu terbayang Yoas.
Hingga suatu mujizat terjadi. Yoas satu sekolah denganku. Yesss! Bahkan satu
kelas. Thanks God. Ternyata Yoas baru pindah.
***
Plaaakkk.
Tubuhku tersungkur tak berdaya di taman. Semua siswa
berkerumunan mengelilingiku. Aku tidak sadarkan diri. Tapi aku merasa seseorang
sedang mengangkat tubuhku. Mati rasa.
Aku sering mengalami seluruh tubuhku mati rasa
seperti membeku. Sudah setahun lebih. Aku menganggap ini hal biasa sehingga aku
tidak memberitahukan kedua orangtuaku. Hanya Naara yang tahu, sahabat karibku.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak tidur
sepulas ini sejak hal aneh itu menimpa diriku. Naara dan Yoas menemaniku. Wajah
mereka kelihatan lelah dan juga kelihatan begitu sedih. “H..ha..hai” sapaku.
Mereka tersenyum. Senyuman terpaksa yang mereka berikan. Dokter Noha, Ibu
Hilkia, wali kelasku, dan kedua orangtuaku masuk. Aku menangkap ada sinyal
tidak mengenakkan dari mimik wajah mereka. “A..da..a..pa ma..pa?” otot
disekitar wajahku tidak berfungsi dengan baik sehingga aku kesulitan bicara. Mama
menangis sambil memelukku. Rasa penasaranku memuncak, tapi aku benar-benar
tidak bisa bicara. Aku berusaha mencari jawabannya dengan menatapi wajah
orang-orang yang ada di ruanganku tempatku
dirawat. Nothing. Tidak ada jawaban.
***
Beberapa hari dirawat, akhirnya aku diperbolehkan
pulang. Dokter menyarankanku menggunakan kursi roda untuk waktu yang tidak
ditentukan. Mungkin selamanya. Itu kata Dokter Noha. Selama perjalanan pulang,
tidak ada seorang pun yang bicara. Sesampainya di rumah, Naara dan Yoas
menyambutku. Kamarku yang tadinya di lantai atas, dipindahkan ke bawah. Mereka
mengubah bentuk kamarku. Ya, khusus kamar untuk orang yang tidak bisa berjalan.
Sore itu Yoas mengajakku jalan sore di sekitar
komplek perumahan. Banyak yang Yoas ceritakan tentang kehidupannya, tapi aku
menghiraukannya. Aku masih bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi
denganku. Tanganku menghentikan roda kursi rodaku.
“Ada apa Re?” tanya Yoas panik.
“To..long..ju..ju..rr..a..pa..ya..ng..se..be..na..rr..nya..ter..ja..di..”
jawabku berusaha bicara.
“Aku tidak tahu, Re. Biarlah orangtuamu yang
menjelaskannya” sambung Yoas sambil mengelus-elus rambut hitamku.
***
Siang itu rumah tak berpenghuni. Tidak ada aktivitas.
Dengan alat pengontrol kursi roda yang ada disebelah kanan, aku berjalan ke
dapur untuk mengambil minum. Semakin hari aku semakin tersiksa dengan
keadaanku. Aktivitasku mulai terbatasi. Dokter Noha menyarankanku untuk tidak
sekolah selama sebulan dan aku harus menjalani terapi dan pengobatan lainnya.
Saat hendak ke dapur, aku melihat sebuah amplop di meja yang berada persis
dekat kamar orangtuaku. Aku mendekat dan membaca isi amplop putih itu.
DUAARRR. Ledakan bom Hirosima-Nagasaki seakan bergema di telingaku. Aku shock bukan main. Dalam surat itu aku divonis mengidap penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis). Aku tahu kalau penyakit ALS ini adalah kelumpuhan otot secara tiba-tiba, terutama pada lengan dan kaki serta akan mempengaruhi kemampuan berbicara, menelan hingga bernafas. Penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya.
DUAARRR. Ledakan bom Hirosima-Nagasaki seakan bergema di telingaku. Aku shock bukan main. Dalam surat itu aku divonis mengidap penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis). Aku tahu kalau penyakit ALS ini adalah kelumpuhan otot secara tiba-tiba, terutama pada lengan dan kaki serta akan mempengaruhi kemampuan berbicara, menelan hingga bernafas. Penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya.
***
Sejak Yoas tahu aku mengidap penyakit langka, ALS,
hubungan kami semakin dekat. Yoas mengajariku bermain piano di gereja. Yoas
sangat perhatian dan peduli denganku. Setiap hari Yoas bermain piano untukku.
Pernah dalam hati aku bertekad hidup karena Yoas. Dengan sabar dan setia Yoas
membantuku menjalani terapi. Perutku sudah penuh dengan obat. Aku muak minum
obat pahit dan bau itu.
Di sekolah pun, teman-teman memperlakukanku dengan
sangat baik. Aku memang dikenal sebagai siswa yang baik dan pintar. Aku suka berbagi.
Banyak prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Hingga suatu hari semua siswa di
sekolah serentak melakukan ice bucket challenge. Mereka desikasikan itu untukku
dan orang-orang yang mengidap ALS di seluruh dunia.
Terkadang teman-teman melihatku dengan rasa penuh
belas kasihan. Aku benci cara mereka melihatku. Aku pun semakin benci dengan
keadaanku hingga aku tidak mau lagi menjalani terapi dan minum obat. Keadaanku
semakin memburuk hingga akhirnya masuk ICU. Dan tidak sadarkan diri.
***
Setiap hari teman-temanku datang menjenguk. Tapi aku
tidak tahu karena aku masih koma saat itu. Kubuka mataku yang sudah lama
tertutup. Ruangan putih. Benda-benda aneh menempel di tubuhku. Yoas sedang
tertidur disampingku. Aku mengelus-elus rambutnya dan ia terbangun. “Hei.
Kamu sudah bangun rupanya. Sepertinya tidurmu sangat nyenyak” kata Yoas sambil
tertawa kecil. Aku hanya tersenyum. Aku melihat sekelilingku dipenuhi hadiah.
Aku menunjuk kearah hadiah itu. “Oh…itu dari teman-teman kita. Mereka datang
menjengukmu dan membawakan hadiah natal ini” jawab Yoah. Ternyata aku sudah
koma selama hampir setahun. Aku pikir siapa pun pasti tidak akan percaya ini.
Semua orang bahagia aku telah sadar dari koma.
Sore itu bunga-bunga di rumah sakit mekar. Yoas tahu aku sangat menyukai bunga. Selama aku koma, Yoas selalu membawakanku bunga. Naara bilang kalau Yoas selalu setia menjagaku. “Sebentar lagi natal, Re. Apa harapanmu?” tanya Yoas mengawali pembicaraan di sore yang begitu indah.
Aku tersenyum, lalu menjawab dengan suara serak,”aku
selalu berjuang untuk hidup hingga aku lupa menikmati hidupku. Aku mau menikah denganmu”.
Yoas terdiam. Lalu memelukku erat. “Aku tahu kamu akan mengatakannya, Re. Aku
tahu kamu suka pernikahan dan aku tahu kamu juga menyukaiku sejak pertama kita
bertemu. Aku bahagia bila menikah denganmu, Re” kata Yoas masih memeluk dan
mencium keningku. Pelukannya begitu hangat dan nyaman.
***
Orangtua kami setuju dengan rencana pernikahan kami.
Dokter Noha mengatakan kesehatanku semakin membaik. Semua orang sibuk
mempersiapkan pernikahan kami, termasuk aku. Siang yang begitu terik, Naara
menemaniku fitting gaun pengantin. Setelah itu, bersama Yoas memesan kue
pernikahan serta keperluan lainnya. Kelelahan menyiapkan segala sesuatunya,
saat berjalan menuju restoran tiba-tiba otot tubuhku tidak berfungsi. Aku pun
terjatuh. Yoas yang berada tepat disampingku dengan sigap menangkap tubuhku
yang hampir tergeletak di trotoar. Aku kembali masuk ICU.
Keadaanku semakin memburuk. Setiap malam aku merintih
kesakitan. Dokter Noha memvonis umurku tidak panjang lagi. Mungkin tinggal
menghitung hari.
***
5 hari koma…
“Ma…” kataku dengan setengah sadar.
“Iya, sayang, mama disini” jawab mama menangis sambil
memegang erat tanganku.
“Aku mau pernikahanku seperti putri dongeng” kataku
dengan mata masih tertutup.
“Iya, sayang.
Mama sudah menyiapkan semuanya. Kamu cepat sembuh ya” balas mama.
Walaupun kesehatanku memburuk, aku meminta Dokter
Noha mengijinkanku untuk melangsungkan pernikahan. Dengan terpaksa, akhirnya
Dokter Noha mengijinkanku dengan syarat hanya dua jam saja karena tubuhku
benar-benar lemah tanpa peralatan medis.
Tepat di hari natal, pernikahanku dengan Yoas
dilangsungkan. Aku dan Yoas berjalan menuju altar dimana pendeta telah berdiri
menyambut kami. Dengan mengenakan gaun pengantin serba putih dengan lace rapat
di bagian bahu, dada dan pinggang. Bagian bawah gaun ringan hingga memberikan
kesan feminim. Ditambah dengan selayar panjang dan kerudung pernikahan dikepala
semakin memperindah diriku. Diiringi lagu A Thousand Years, jemaat yang datang
menyambut dan mengundang kedatangan kami. Setelah mengucapkan janji pernikahan
di hadapan Tuhan dan sah menjadi suami-istri, selanjutnya dilakukan peneguhan
dan disambung dengan ucapan selamat dari keluarga dan juga teman-teman. Ritual pernikahan
kami berjalan hikmat dan sakral.
"Selamat natal
istriku". Yoas mencium bibirku. Semua orang bersorak gembira. "Merry
christmas and happy wedding Refa-Yoas" teriak mereka serentak. Semuanya
sangat bahagia dan bersukacita. "Kamu pengantin tercantik di
dunia" kata Yoas menggodaku sembari memelukku erat. "A...ku
menya...yangi...mu..." Tiiiiiitttttttt. "Refa. Refaya. Bangun Re. Banguuunn. Refa. REFAAAA!!!"
- The end -