Selasa, 16 Desember 2014

cerpenku 14

Make a wish
Oleh Indah Simanjuntak
Dengan begitu indah dia memainkan piano yang berada disudut kanan ruangan gereja. Dia dan piano itu sudah seperti saudara sehingga mereka begitu akrab dan bersahabat. Mereka seperti satu jiwa dan satu raga. Tidak hanya jarinya yang menari, tubuhnya pun turut mengikuti irama musik. Berserah Kepada Yesus. The great song. Siapa pun dia yang memainkan piano begitu indah, aku telah jatuh cinta padanya. Musik adalah sesuatu yang sering membuatku jatuh cinta. Terserah jenis musik apapun itu. Meskipun begitu, aku tidak pernah mencari tahu sosok dia yang setiap minggu bermain piano untuk Tuhan.


Pohon natal berdiri tegak disudut kiri gereja. Awesome! Layaknya seorang artis, semua mata yang melihatnya berdecap kagum. Satu dari miliaran ciptaan Tuhan yang begitu indah. Dihiasi berbagai warna dengan diperindah pernak-pernik natal. Mataku tidak sekalipun berkedip melihatnya. “How so wonderful” gumamku dalam hati.
Saat pengakuan iman rasuli, seperti biasa semua jemaat berdiri. Tak sengaja mataku dan mata dia bertabrakan. Cukup lama kami saling memandang satu sama lain. Dengan mengenakan kemeja berwarna merah marun dibalut dasi berwarna gelap, dia begitu berwibawa dan berkarisma. He’s so handsome. Naara menepuk pundakku mengingatkan. Naara pikir aku sedang melamun.
Ibadah pun usai. Saat hendak keluar gereja, tiba-tiba kakiku kram. Seluruh tubuhku membeku. “Aaww! “ aku merintih kesakitan. Aku memegang erat tangan Naara yang sedang berusaha menopang tubuhku berdiri. “Makasih Naa…” bibirku berhenti mengeluarkan kata-kata saat aku tahu bukan Naara yang menolongku. Iya, dia si pemain piano itu. Aku tak menyangka. Dia tersenyum ramah. “Maaf Re, aku bantuin ibu hamil tadi” kata Naara meminta maaf. Tangannya masih menopang tubuhku. “Kebetulan aku lewat dan tiba-tiba dia terjatuh” sambung si pemain piano menjelaskan alasan dia memegangku. “Makasih” balas Naara sembari berusaha menopangku darinya. Aku masih tertegun menatapnya. Dia seperti malaikat.
“Namaku Yoas Eleazar. Aku pemain piano di gereja ini” sambil menyalam aku dan Naara.
“Naara Asriel”.
“Refaya Eliezer”.
“Haha (tertawa) nama kita hampir mirip. Eleazar dan Eliezer. Senang berkenalan dengan kalian. Selamat hari minggu” sambung Yoas.
Setelah insiden itu, aku selalu terbayang Yoas. Hingga suatu mujizat terjadi. Yoas satu sekolah denganku. Yesss! Bahkan satu kelas. Thanks God. Ternyata Yoas baru pindah.
***
Plaaakkk.
Tubuhku tersungkur tak berdaya di taman. Semua siswa berkerumunan mengelilingiku. Aku tidak sadarkan diri. Tapi aku merasa seseorang sedang mengangkat tubuhku. Mati rasa.
Aku sering mengalami seluruh tubuhku mati rasa seperti membeku. Sudah setahun lebih. Aku menganggap ini hal biasa sehingga aku tidak memberitahukan kedua orangtuaku. Hanya Naara yang tahu, sahabat karibku.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak tidur sepulas ini sejak hal aneh itu menimpa diriku. Naara dan Yoas menemaniku. Wajah mereka kelihatan lelah dan juga kelihatan begitu sedih. “H..ha..hai” sapaku. Mereka tersenyum. Senyuman terpaksa yang mereka berikan. Dokter Noha, Ibu Hilkia, wali kelasku, dan kedua orangtuaku masuk. Aku menangkap ada sinyal tidak mengenakkan dari mimik wajah mereka. “A..da..a..pa ma..pa?” otot disekitar wajahku tidak berfungsi dengan baik sehingga aku kesulitan bicara. Mama menangis sambil memelukku. Rasa penasaranku memuncak, tapi aku benar-benar tidak bisa bicara. Aku berusaha mencari jawabannya dengan menatapi wajah orang-orang yang ada di ruanganku tempatku  dirawat. Nothing. Tidak ada jawaban.
***
Beberapa hari dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Dokter menyarankanku menggunakan kursi roda untuk waktu yang tidak ditentukan. Mungkin selamanya. Itu kata Dokter Noha. Selama perjalanan pulang, tidak ada seorang pun yang bicara. Sesampainya di rumah, Naara dan Yoas menyambutku. Kamarku yang tadinya di lantai atas, dipindahkan ke bawah. Mereka mengubah bentuk kamarku. Ya, khusus kamar untuk orang yang tidak bisa berjalan.
Sore itu Yoas mengajakku jalan sore di sekitar komplek perumahan. Banyak yang Yoas ceritakan tentang kehidupannya, tapi aku menghiraukannya. Aku masih bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi denganku. Tanganku menghentikan roda kursi rodaku.
“Ada apa Re?” tanya Yoas panik.
“To..long..ju..ju..rr..a..pa..ya..ng..se..be..na..rr..nya..ter..ja..di..” jawabku berusaha bicara.
“Aku tidak tahu, Re. Biarlah orangtuamu yang menjelaskannya” sambung Yoas sambil mengelus-elus rambut hitamku.
***
Siang itu rumah tak berpenghuni. Tidak ada aktivitas. Dengan alat pengontrol kursi roda yang ada disebelah kanan, aku berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Semakin hari aku semakin tersiksa dengan keadaanku. Aktivitasku mulai terbatasi. Dokter Noha menyarankanku untuk tidak sekolah selama sebulan dan aku harus menjalani terapi dan pengobatan lainnya. Saat hendak ke dapur, aku melihat sebuah amplop di meja yang berada persis dekat kamar orangtuaku. Aku mendekat dan membaca isi amplop putih itu.

DUAARRR. Ledakan bom Hirosima-Nagasaki seakan bergema di telingaku. Aku shock bukan main. Dalam surat itu aku divonis mengidap penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis). Aku tahu kalau penyakit ALS ini adalah kelumpuhan otot secara tiba-tiba, terutama pada lengan dan kaki serta akan mempengaruhi kemampuan berbicara, menelan hingga bernafas. Penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya.
***
Sejak Yoas tahu aku mengidap penyakit langka, ALS, hubungan kami semakin dekat. Yoas mengajariku bermain piano di gereja. Yoas sangat perhatian dan peduli denganku. Setiap hari Yoas bermain piano untukku. Pernah dalam hati aku bertekad hidup karena Yoas. Dengan sabar dan setia Yoas membantuku menjalani terapi. Perutku sudah penuh dengan obat. Aku muak minum obat pahit dan bau itu.
Di sekolah pun, teman-teman memperlakukanku dengan sangat baik. Aku memang dikenal sebagai siswa yang baik dan pintar. Aku suka berbagi. Banyak prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Hingga suatu hari semua siswa di sekolah serentak melakukan ice bucket challenge. Mereka desikasikan itu untukku dan orang-orang yang mengidap ALS di seluruh dunia.
Terkadang teman-teman melihatku dengan rasa penuh belas kasihan. Aku benci cara mereka melihatku. Aku pun semakin benci dengan keadaanku hingga aku tidak mau lagi menjalani terapi dan minum obat. Keadaanku semakin memburuk hingga akhirnya masuk ICU. Dan tidak sadarkan diri.
***
Setiap hari teman-temanku datang menjenguk. Tapi aku tidak tahu karena aku masih koma saat itu. Kubuka mataku yang sudah lama tertutup. Ruangan putih. Benda-benda aneh menempel di tubuhku. Yoas sedang tertidur disampingku. Aku mengelus-elus rambutnya dan ia terbangun. “Hei. Kamu sudah bangun rupanya. Sepertinya tidurmu sangat nyenyak” kata Yoas sambil tertawa kecil. Aku hanya tersenyum. Aku melihat sekelilingku dipenuhi hadiah. Aku menunjuk kearah hadiah itu. “Oh…itu dari teman-teman kita. Mereka datang menjengukmu dan membawakan hadiah natal ini” jawab Yoah. Ternyata aku sudah koma selama hampir setahun. Aku pikir siapa pun pasti tidak akan percaya ini. Semua orang bahagia aku telah sadar dari koma.

Sore itu bunga-bunga di rumah sakit mekar. Yoas tahu aku sangat menyukai bunga. Selama aku koma, Yoas selalu membawakanku bunga. Naara bilang kalau Yoas selalu setia menjagaku.  “Sebentar lagi natal, Re. Apa harapanmu?” tanya Yoas mengawali pembicaraan di sore yang begitu indah.
Aku tersenyum, lalu menjawab dengan suara serak,”aku selalu berjuang untuk hidup hingga aku lupa menikmati hidupku. Aku mau menikah denganmu”. Yoas terdiam. Lalu memelukku erat. “Aku tahu kamu akan mengatakannya, Re. Aku tahu kamu suka pernikahan dan aku tahu kamu juga menyukaiku sejak pertama kita bertemu. Aku bahagia bila menikah denganmu, Re” kata Yoas masih memeluk dan mencium keningku. Pelukannya begitu hangat dan nyaman.
***
Orangtua kami setuju dengan rencana pernikahan kami. Dokter Noha mengatakan kesehatanku semakin membaik. Semua orang sibuk mempersiapkan pernikahan kami, termasuk aku. Siang yang begitu terik, Naara menemaniku fitting gaun pengantin. Setelah itu, bersama Yoas memesan kue pernikahan serta keperluan lainnya. Kelelahan menyiapkan segala sesuatunya, saat berjalan menuju restoran tiba-tiba otot tubuhku tidak berfungsi. Aku pun terjatuh. Yoas yang berada tepat disampingku dengan sigap menangkap tubuhku yang hampir tergeletak di trotoar. Aku kembali masuk ICU.
Keadaanku semakin memburuk. Setiap malam aku merintih kesakitan. Dokter Noha memvonis umurku tidak panjang lagi. Mungkin tinggal menghitung hari.
***
5 hari koma…
“Ma…” kataku dengan setengah sadar.
“Iya, sayang, mama disini” jawab mama menangis sambil memegang erat tanganku.
“Aku mau pernikahanku seperti putri dongeng” kataku dengan mata masih tertutup.
 “Iya, sayang. Mama sudah menyiapkan semuanya. Kamu cepat sembuh ya” balas mama.
Walaupun kesehatanku memburuk, aku meminta Dokter Noha mengijinkanku untuk melangsungkan pernikahan. Dengan terpaksa, akhirnya Dokter Noha mengijinkanku dengan syarat hanya dua jam saja karena tubuhku benar-benar lemah tanpa peralatan medis.
Tepat di hari natal, pernikahanku dengan Yoas dilangsungkan. Aku dan Yoas berjalan menuju altar dimana pendeta telah berdiri menyambut kami. Dengan mengenakan gaun pengantin serba putih dengan lace rapat di bagian bahu, dada dan pinggang. Bagian bawah gaun ringan hingga memberikan kesan feminim. Ditambah dengan selayar panjang dan kerudung pernikahan dikepala semakin memperindah diriku. Diiringi lagu A Thousand Years, jemaat yang datang menyambut dan mengundang kedatangan kami. Setelah mengucapkan janji pernikahan di hadapan Tuhan dan sah menjadi suami-istri, selanjutnya dilakukan peneguhan dan disambung dengan ucapan selamat dari keluarga dan juga teman-teman. Ritual pernikahan kami berjalan hikmat dan sakral.


"Selamat natal istriku". Yoas mencium bibirku. Semua orang bersorak gembira. "Merry christmas and happy wedding Refa-Yoas" teriak mereka serentak. Semuanya sangat bahagia dan bersukacita. "Kamu pengantin tercantik di dunia" kata Yoas menggodaku sembari memelukku erat. "A...ku menya...yangi...mu..." Tiiiiiitttttttt. "Refa. Refaya. Bangun Re. Banguuunn. Refa. REFAAAA!!!" 
-  The end -