MANTANKU, SI ANAK MAMI
“K..ka..kamu
mau ngga jadi cewekku?” kata Fanny saat menembakku
di dekat lapangan basket sekolah. Sumpah, saat itu aku kaget setengah mati saat
kata-kata itu keluar dari mulutnya. Fanny yang selama ini dikenal anak mami itu
ternyata punya keberanian juga nembak cewek. Aku tersenyum sinis padanya. Saat
itu kupegang tangannya yang halus dan mulus. Maklum aja, dari kecil Fanny ngga
pernah ngelakuin hal-hal berat yang biasa kaum adam lakukan pada umumnya.
Maminya sangat over protektif karna maminya punya pengalaman pahit 2x
keguguran. Fanny dilarang ini dan itu. Boleh dibilang Fanny ada dibawah ketiak
maminya. Fanny terkenal dengan sebutan “kata mami” karna setiap kali dia
berbicara “kata mami” tak pernah hilang dari kalimatnya. Meski pun begitu Fanny
salah satu siswa terbaik di sekolah kami. Selain juara umum, juara olimpiade
tingkat nasional dan internasional, dia juga dinobatkan sebagai siswa teladan
tiap semesternya. Bayangkan coba udah berapa banyak prestasi yang dia punya?
Banyak banget kan! Di setiap sudut rumahnya ada piala, sertifikat, piagam serta
medali emas, perak dan perunggu. Hebat bukan? Dari segi tampang pun dia ngga
kalah jauh dari semua siswa cowok di sekolah. Papinya Fanny berkebangsaan
Inggris, so wajar aja kalo wajahnya mirip dikit sama Taylor Lautner. Tapi kalo
tiap dekat cewek Fanny selalu gemetaran. Ngga salah kalo aku kaget saat dia
nembak gue.
Praakkkkk!
Fanny tumbang. Bola basket itu menghantam kepalanya. Bintang-bintang kecil
mengeliligi kepalanya. Semua siswa mendekati Fanny, semua takut terjadi apa-apa
padanya. Aku yang suka iseng kemudian bilang, “gue mau kok jadi pacar lo”.
Refleks saja Fanny langsung sadar dan memelukku. Semua siswa yang melihat kami
kelihatan bingung. Aku kaget Fanny memelukku pada hal aku cuma iseng aja bilang gitu. “Berarti hari
ini kita resmi jadian dong” kata Fanny sumringah. Semua siswa yang ada disitu
langsung bertepuk tangan, bersorak bahkan menyalami kami berdua. Kami seperti
pengantin diberi selamatan. Aku yang dikenal tomboy dan belum pernah pacaran
selama hidupku jadi korban bulian teman-temanku.
Sudah
3 bulan kami berpacaran. Bulan depan kami akan menghadapi UN pada hal aku ngga
pernah belajar. Suatu hari Fanny mengajakku belajar bareng. Setelah pulang
sekolah kami pulang bareng. Setibanya di rumah, maminya langsung memeluk dan
mencium anak satu-satunya itu bahkan maminya ngga menyapaku. Untung aja Fanny
masih menganggap aku ada kalo tidak tanpa proses kuputuskan dia saat itu juga
di depan maminya. “Kesal banget” pikirku. Selama kami belajar, maminya terus
mengawasi kami. Aku yang biasanya suka menjitak kepala Fanny dan mengejeknya
ngga bisa berbuat banyak. Gerak gerikku diawasi. Bahkan tanpa malu-malu maminya
menyuapi Fanny makan di depanku. “Ya ampun, ini anak loh” pikirku dalam hati.
Yang bikin aku kesal lagi, kemana Fanny pergi disitu pasti ada maminya. Disaat
ngedate pun maminya ikut juga. Pernah
saat makan di restoran, sikap over protektif maminya kelewatan banget. Semua makanan
Fanny diperiksa lebih dulu sama maminya karna Fanny yang alergi bawang putih
dan udang itu pernah masuk ICU akibat keracunan makanan seafood.
Aku
curhat sama teman-temanku tentang Fanny dan mereka menertawaiku. Mereka bilang
maminya Fanny itu seperti klinik 24 jam.
“Protektif
sih sah-sah aja tapi ngga segitunya juga kali” kata Lira menyindirku.
“Mmm.
Bener banget tuh Ra. Lo udah pantes nasehatin Fanny biar ngga selalu nurut kata
maminya. Dia udah dewasa dan dia udah bisa make
a choice” sambung Weila.
“Kata
mami” ejek Olive. Mereka terus menyindir dan mengejekku sejak aku berpacaran
dengan Fanny. Tapi setelah kupikir-pikir apa yang dibilang Weila itu benar juga, aku harus bisa membuka pola pikirnya
Fanny yang terlalu anak mami. Aku pun berencana untuk mengatakan hal ini
padanya. Lalu aku meng-sms-nya dan mengajaknya jalan setelah pulang sekolah nanti.
Hari itu aku sengaja mengajak Fanny
ke tempat yang belum pernah dijalaninya. Aku ingin menunjukkan padanya kalo di
luar dunianya masih ada dunia yang jauh lebih indah. Kami pun mampir di salah
satu jualan di pinggir jalan. Aku tau kalo selama hidupnya Fanny ngga pernah
makan di pinggir jalan. Perasaan tak nyaman itu tersirat diwajahnya. Dia
kelihatan gelisah dan membersihkan dengan tisu apa yang menurutnya kotor. “Ini
anak bersih amat, gue aja cewek ngga segitunya” bisikku dalam hati. Aku memaksa
Fanny makan kalo tidak aku mengancamnya putus. Setelah itu kami ke taman bunga,
tempat aku dan teman-temanku nongkrong kalo pulang sekolah. Fanny terlihat
gugup dan malu-maluin. Aku pun mulai mengatakan semua unek-unekku tentang
maminya. Bahkan saking emosinya aku ngga sadar memarahinya hingga membuatnya
ketakutan. Aku memeluknya sambil menasehatinya dengan lembut. Aku tau hal ini
yang maminya lakukan padanya. Dan Fanny pun berjanji untuk tidak jadi anak mami
lagi, itulah janjinya padaku. Aku pun senang mendengarnya.
Setelah kejadian di taman bunga itu,
Fanny kelihatannya sudah berubah. Hampir aku tidak pernah dengar “kata mami”
keluar lagi dari mulutnya. Teman-temanku pun salut padaku karna berhasil
membuatnya berubah. Bahkan dari cara dia berjalan, berpakaian hingga cara dia
berbicara pun berubah. Siswa cewek di sekolahku pun mulai meliriknya. Fanny
juga mulai berubah jadi cowok yang romantis dan perhatian padaku. Tiap pulang
sekolah dia mengajakku jalan, makan, nonton, hingga menemaninya belanja
keperluan cowok di mall. Maminya pernah memarahiku lewat telpon. Maminya
menganggap aku biang keladi penyebab Fanny ngga nurut lagi pada perintahnya,
bahkan maminya menyuruhku menjauhi Fanny. Tanpa Fanny ketahui, maminya sering
datang ke rumahku memaki aku dan juga keluargaku. Keluargaku memang sederhana
tapi ngga pantas maminya memaki keluargaku. Aku sengaja merahasiakan hal ini
dari Fanny. Kusimpan sakit hati ini karna entah kenapa aku mulai merasa takut
kehilangan dia.
Minggu tenang. Minggu depan kami
akan menghadapi UN. Aku dan Fanny jadi sering belajar bareng di rumahku.
Keluargaku sudah kenal dekat dengan Fanny karna dia anak yang baik dan juga
sopan. Aku minta pada orang tuaku untuk tidak mengatakan pada Fanny kalo
maminya sering memaki keluargaku. Fanny sabar mengajariku matematika dan juga
fisika karna aku bego dibagian perhitungan. Aku pun bingung kenapa aku bisa
masuk kelas IPA pada hal nilai IPSku bagus. Aku dan Fanny memang beda kelas
tapi sama-sama IPA.
Pengumuman
kelulusan SMA. Aku pergi bersama temanku ke sekolah melihat pengumuman karna
Fanny sulit dihubungi beberapa hari ini. Aku dengar-dengar katanya Fanny akan
kuliah diluar negeri. Aku pergi kerumahnya, tapi satpamnya bilang Fanny udah
ngga tinggal dirumahnya lagi. Aku kecewa mendengarnya. Dia ngga memberitahuku.
Tahun ini kami semua lulus. Semua temanku senang tapi aku malah sedih
memikirkan Fanny. Saat itu aku melihat Fanny berdiri dekat gerbang sekolah. Dia
tampak kurus dan wajahnya pucat. Aku tak melihat maminya ada didekatnya.
Kuhampiri Fanny untuk menjawab rasa penasaranku akan sikapnya yang berubah
drastis. “Hai Fan” sapaku sambil memberikan senyum terbaikku. Fanny diam dan
hanya membalasnya dengan senyuman. Aku pun semakin penasaran.
“Selamat
mas. Mas Fanny lulus” kata sang sopir.
“Oh,
makasih pak” jawab Fanny jutek.
Di
dalam mobil aku melihat maminya Fanny. Aku baru sadar kenapa Fanny begitu cuek
padaku. Lalu aku menatapnya seakan berusaha untuk mencari alasan dia
menjauhiku. Tapi aku tak menemukannya. Lalu Fanny memberiku sebuah amplop
berwarna biru muda. Sebelum masuk ke mobil, Fanny mencium keningku. Itulah
ciuman pertamanya selama kami pacaran sekaligus ciuman terakhirnya karna
setelah itu kami tak pernah ketemu lagi. Fanny hilang tanpa jejak bak ditelan
bumi. Kutanya semua teman sekolah kami tapi satu pun tak ada yang tahu kabar
atau pun keberadaan Fanny.
“Lusa aku dan mamiku
akan kembali ke Inggris. Disana aku akan melanjutkan studiku. Makasih udah mau mengisi
hari-hariku. Maafin mamiku karna memaki kamu dan juga keluargamu. Sampaikan permohonan
maaf mamiku pada mereka. Begitu cepat aku mengakhiri hubungan ini tanpa
memberikan alasan. Maaf aku ngga bisa kasih tau alasannya sekarang tapi kalo
suatu saat nanti kita bertemu kembali, aku akan menceritakan semuanya. Makasih
karna udah mau mengubah hidupku. Baik-baik ya selama disini. Aku harap kamu
menemukan pria yang baik, perhatian, pengertian, tulus menyayangimu dan dia
juga ngga anak mami kayak aku. Hahaha. Aku sayang kamu Ay J “.
Itulah
isi surat yang Fanny berikan padaku. Hampir tiap malam aku membacanya hingga
aku bisa menghapal isi surat itu. Setiap kali kubaca, air mata ini jatuh.
Sakit? Pasti! Kecewa? Banget! Kesal? Apa lagi! Kucoba untuk mulai melupakan
kenangan 4 bulan itu dan mulai membuka hati buat orang lain.
7 tahun kemudian....
“Ay,
tolong besok kamu temui klien kita di hotel internasional jam 9 pagi ya” kata
dirut perusahaan padaku.
“Baik
pak” jawabku. Saat ini aku bekerja di salah satu perusahaan asing. Tugasku
menemui klien yang datang dari luar negeri. Boleh dibilang bahasa inggrisku cukup
bagus. Entah kenapa saat aku mendengar negara Ratu Elizabeth itu aku selalu
teringat pada Fanny. “Gimana ya kabarnya disana?” pikirku. Aku sudah punya
pacar bahkan rencananya kami akan menikah bulan depan. Dia rekan satu kerjaku
yang dipindahtugaskan ke cabang lain. Namanya Pasco Brata. Sudah hampir 3 tahun
kami berpacaran. Dia ngga beda jauh dari Fanny hanya saja Tata, nama panggilannya,
berasal dari keluarga sederhana seperti aku.
Teng. Tepat jam 8 pagi. Aku sudah
bersiap. Pagi ini aku harus menemui seorang klien di salah satu hotel
internasional di Jakarta. Aku pergi lebih awal karna takut kejebak macet.
Setelah aku kerja, cara berpakaianku berubah drastis. Aku dituntut harus
memakai rok dan blazer plus high heels,
bahkan teman-temanku ngga kenal lagi samaku. Tiap kali ketemu, aku harus
panjang lebar menjelaskan perubahanku ini pada mereka. Sumpah, melelahkan
banget. Tapi aku masih seperti Ayuke yang dulu yang always no on time. 08.47 tepat aku sudah sampai lebih dulu di
hotel. Aku naik lift agar cepat sampai di ruangan meeting. Tapi karna aku
kebingungan mencari ruangannya, aku pun terlambat 15 menit pada hal aku sudah
berusaha secepat mungkin sampai ditempat. Ternyata klienku itu sudah setengah
jam menungguku.
“I’m sorry sir I’m late” kataku dalam
bahasa inggris.
“It’s OK” jawabnya simpel.
Klien
itu masih membelakangiku. Dia sepertinya sedang membaca. “Mmm....” tiba-tiba
aku terdiam saat klien itu membalikkan badannya. “Fanny?” kataku dalam hati.
Tanpa sengaja dokumen yang aku pegang lepas dari tanganku karna saking
kagetnya. Kaget setengah mati. Fanny kelihatan berubah. Dia tak memakai kaca
mata lagi. Bahkan aku tak melihat maminya ada didekatnya. “Ayuke?” kata Fanny
sambil melangkah mendekatiku. Aku masih diam mematung. Lalu Fanny mengumpuli
dokumenku yang sudah berserakan itu di lantai. “Are you OK?” kata Fanny menyadarkanku. “I’m OK. Sorry” balasku sambil mengumpulkan dokumenku itu. Aku tak
percaya aku bisa bertemu lagi dengan Fanny. Namun diwajahnya aku menangkap
suatu kesedihan yang amat teramat dalam. Aku dan Fanny pun mulai membahas kerja
sama perusahaan. Setelah itu Fanny mengajakku makan siang di salah satu
restoran Jepang. Dia bercerita tentang kehidupannya selama disana bahkan dia
mengatakan kalo maminya sudah meninggal tahun lalu, sedangkan Fanny baru
bercerai dari istrinya. Aku kaget ternyata Fanny sudah menikah. Fanny juga
mengatakan alasannya pergi tanpa alasan padaku karna sakit maminya yang mulai
parah dan dia ingin membahagiakan maminya dengan menuruti semua keinginan sang
mami.
Setelah
di hotel itu, kami jadi sering bertemu. Fanny masih saja seperti dulu, tidak
suka makan di pinggir jalan, sebelum makan dia memeriksa makanannya, dia juga
setia membawa tisu kemana pun dia pergi bahkan “kata mami” pun tak luput
kalimatnya. Tapi aku menyukai semuanya itu. Lalu aku memberikan undangan
pernikahanku pada Fanny. Bagaimana pun aku sudah tidak punya perasaan lagi pada
Fanny, karna aku sudah punya Tata yang
setia membantuku melupakan Fanny. Kuakui Fannylah cinta pertamaku. Fanny
tersenyum melihat undangan pernikahanku dan memberikan selamat. “Aku pikir
setelah aku pulang kita bisa bersama lagi saat dulu, tapi ternyata penantianku
sia-sia, kamu sebentar lagi akan menjadi milik orang lain. Semoga kamu bahagia Ay”
kata Fanny. Raut kekecewaan terlihat jelas diwajahnya. “Makasih Fan. Aku harap
kamu juga” balasku sambil memegang tangannya dan tersenyum.