Senin, 05 Mei 2014

cerpenku 10

MANTANKU, SI ANAK MAMI
“K..ka..kamu mau ngga jadi cewekku?” kata Fanny saat menembakku di dekat lapangan basket sekolah. Sumpah, saat itu aku kaget setengah mati saat kata-kata itu keluar dari mulutnya. Fanny yang selama ini dikenal anak mami itu ternyata punya keberanian juga nembak cewek. Aku tersenyum sinis padanya. Saat itu kupegang tangannya yang halus dan mulus. Maklum aja, dari kecil Fanny ngga pernah ngelakuin hal-hal berat yang biasa kaum adam lakukan pada umumnya. Maminya sangat over protektif karna maminya punya pengalaman pahit 2x keguguran. Fanny dilarang ini dan itu. Boleh dibilang Fanny ada dibawah ketiak maminya. Fanny terkenal dengan sebutan “kata mami” karna setiap kali dia berbicara “kata mami” tak pernah hilang dari kalimatnya. Meski pun begitu Fanny salah satu siswa terbaik di sekolah kami. Selain juara umum, juara olimpiade tingkat nasional dan internasional, dia juga dinobatkan sebagai siswa teladan tiap semesternya. Bayangkan coba udah berapa banyak prestasi yang dia punya? Banyak banget kan! Di setiap sudut rumahnya ada piala, sertifikat, piagam serta medali emas, perak dan perunggu. Hebat bukan? Dari segi tampang pun dia ngga kalah jauh dari semua siswa cowok di sekolah. Papinya Fanny berkebangsaan Inggris, so wajar aja kalo wajahnya mirip dikit sama Taylor Lautner. Tapi kalo tiap dekat cewek Fanny selalu gemetaran. Ngga salah kalo aku kaget saat dia nembak gue.
Praakkkkk! Fanny tumbang. Bola basket itu menghantam kepalanya. Bintang-bintang kecil mengeliligi kepalanya. Semua siswa mendekati Fanny, semua takut terjadi apa-apa padanya. Aku yang suka iseng kemudian bilang, “gue mau kok jadi pacar lo”. Refleks saja Fanny langsung sadar dan memelukku. Semua siswa yang melihat kami kelihatan bingung. Aku kaget Fanny memelukku pada hal  aku cuma iseng aja bilang gitu. “Berarti hari ini kita resmi jadian dong” kata Fanny sumringah. Semua siswa yang ada disitu langsung bertepuk tangan, bersorak bahkan menyalami kami berdua. Kami seperti pengantin diberi selamatan. Aku yang dikenal tomboy dan belum pernah pacaran selama hidupku jadi korban bulian teman-temanku.
Sudah 3 bulan kami berpacaran. Bulan depan kami akan menghadapi UN pada hal aku ngga pernah belajar. Suatu hari Fanny mengajakku belajar bareng. Setelah pulang sekolah kami pulang bareng. Setibanya di rumah, maminya langsung memeluk dan mencium anak satu-satunya itu bahkan maminya ngga menyapaku. Untung aja Fanny masih menganggap aku ada kalo tidak tanpa proses kuputuskan dia saat itu juga di depan maminya. “Kesal banget” pikirku. Selama kami belajar, maminya terus mengawasi kami. Aku yang biasanya suka menjitak kepala Fanny dan mengejeknya ngga bisa berbuat banyak. Gerak gerikku diawasi. Bahkan tanpa malu-malu maminya menyuapi Fanny makan di depanku. “Ya ampun, ini anak loh” pikirku dalam hati. Yang bikin aku kesal lagi, kemana Fanny pergi disitu pasti ada maminya. Disaat ngedate pun maminya ikut juga. Pernah saat makan di restoran, sikap over protektif maminya kelewatan banget. Semua makanan Fanny diperiksa lebih dulu sama maminya karna Fanny yang alergi bawang putih dan udang itu pernah masuk ICU akibat keracunan makanan seafood.
Aku curhat sama teman-temanku tentang Fanny dan mereka menertawaiku. Mereka bilang maminya Fanny itu seperti klinik 24 jam.
“Protektif sih sah-sah aja tapi ngga segitunya juga kali” kata Lira menyindirku.
“Mmm. Bener banget tuh Ra. Lo udah pantes nasehatin Fanny biar ngga selalu nurut kata maminya. Dia udah dewasa dan dia udah bisa make a choice” sambung Weila.
“Kata mami” ejek Olive. Mereka terus menyindir dan mengejekku sejak aku berpacaran dengan Fanny. Tapi setelah kupikir-pikir apa yang dibilang Weila itu benar  juga, aku harus bisa membuka pola pikirnya Fanny yang terlalu anak mami. Aku pun berencana untuk mengatakan hal ini padanya. Lalu aku meng-sms-nya dan mengajaknya jalan setelah pulang sekolah nanti.
            Hari itu aku sengaja mengajak Fanny ke tempat yang belum pernah dijalaninya. Aku ingin menunjukkan padanya kalo di luar dunianya masih ada dunia yang jauh lebih indah. Kami pun mampir di salah satu jualan di pinggir jalan. Aku tau kalo selama hidupnya Fanny ngga pernah makan di pinggir jalan. Perasaan tak nyaman itu tersirat diwajahnya. Dia kelihatan gelisah dan membersihkan dengan tisu apa yang menurutnya kotor. “Ini anak bersih amat, gue aja cewek ngga segitunya” bisikku dalam hati. Aku memaksa Fanny makan kalo tidak aku mengancamnya putus. Setelah itu kami ke taman bunga, tempat aku dan teman-temanku nongkrong kalo pulang sekolah. Fanny terlihat gugup dan malu-maluin. Aku pun mulai mengatakan semua unek-unekku tentang maminya. Bahkan saking emosinya aku ngga sadar memarahinya hingga membuatnya ketakutan. Aku memeluknya sambil menasehatinya dengan lembut. Aku tau hal ini yang maminya lakukan padanya. Dan Fanny pun berjanji untuk tidak jadi anak mami lagi, itulah janjinya padaku. Aku pun senang mendengarnya.
            Setelah kejadian di taman bunga itu, Fanny kelihatannya sudah berubah. Hampir aku tidak pernah dengar “kata mami” keluar lagi dari mulutnya. Teman-temanku pun salut padaku karna berhasil membuatnya berubah. Bahkan dari cara dia berjalan, berpakaian hingga cara dia berbicara pun berubah. Siswa cewek di sekolahku pun mulai meliriknya. Fanny juga mulai berubah jadi cowok yang romantis dan perhatian padaku. Tiap pulang sekolah dia mengajakku jalan, makan, nonton, hingga menemaninya belanja keperluan cowok di mall. Maminya pernah memarahiku lewat telpon. Maminya menganggap aku biang keladi penyebab Fanny ngga nurut lagi pada perintahnya, bahkan maminya menyuruhku menjauhi Fanny. Tanpa Fanny ketahui, maminya sering datang ke rumahku memaki aku dan juga keluargaku. Keluargaku memang sederhana tapi ngga pantas maminya memaki keluargaku. Aku sengaja merahasiakan hal ini dari Fanny. Kusimpan sakit hati ini karna entah kenapa aku mulai merasa takut kehilangan dia.
            Minggu tenang. Minggu depan kami akan menghadapi UN. Aku dan Fanny jadi sering belajar bareng di rumahku. Keluargaku sudah kenal dekat dengan Fanny karna dia anak yang baik dan juga sopan. Aku minta pada orang tuaku untuk tidak mengatakan pada Fanny kalo maminya sering memaki keluargaku. Fanny sabar mengajariku matematika dan juga fisika karna aku bego dibagian perhitungan. Aku pun bingung kenapa aku bisa masuk kelas IPA pada hal nilai IPSku bagus. Aku dan Fanny memang beda kelas tapi sama-sama IPA.
Pengumuman kelulusan SMA. Aku pergi bersama temanku ke sekolah melihat pengumuman karna Fanny sulit dihubungi beberapa hari ini. Aku dengar-dengar katanya Fanny akan kuliah diluar negeri. Aku pergi kerumahnya, tapi satpamnya bilang Fanny udah ngga tinggal dirumahnya lagi. Aku kecewa mendengarnya. Dia ngga memberitahuku. Tahun ini kami semua lulus. Semua temanku senang tapi aku malah sedih memikirkan Fanny. Saat itu aku melihat Fanny berdiri dekat gerbang sekolah. Dia tampak kurus dan wajahnya pucat. Aku tak melihat maminya ada didekatnya. Kuhampiri Fanny untuk menjawab rasa penasaranku akan sikapnya yang berubah drastis. “Hai Fan” sapaku sambil memberikan senyum terbaikku. Fanny diam dan hanya membalasnya dengan senyuman. Aku pun semakin penasaran.
“Selamat mas. Mas Fanny lulus” kata sang sopir.
“Oh, makasih pak” jawab Fanny jutek.
Di dalam mobil aku melihat maminya Fanny. Aku baru sadar kenapa Fanny begitu cuek padaku. Lalu aku menatapnya seakan berusaha untuk mencari alasan dia menjauhiku. Tapi aku tak menemukannya. Lalu Fanny memberiku sebuah amplop berwarna biru muda. Sebelum masuk ke mobil, Fanny mencium keningku. Itulah ciuman pertamanya selama kami pacaran sekaligus ciuman terakhirnya karna setelah itu kami tak pernah ketemu lagi. Fanny hilang tanpa jejak bak ditelan bumi. Kutanya semua teman sekolah kami tapi satu pun tak ada yang tahu kabar atau pun keberadaan Fanny.
“Lusa aku dan mamiku akan kembali ke Inggris. Disana aku akan melanjutkan studiku. Makasih udah mau mengisi hari-hariku. Maafin mamiku karna memaki kamu dan juga keluargamu. Sampaikan permohonan maaf mamiku pada mereka. Begitu cepat aku mengakhiri hubungan ini tanpa memberikan alasan. Maaf aku ngga bisa kasih tau alasannya sekarang tapi kalo suatu saat nanti kita bertemu kembali, aku akan menceritakan semuanya. Makasih karna udah mau mengubah hidupku. Baik-baik ya selama disini. Aku harap kamu menemukan pria yang baik, perhatian, pengertian, tulus menyayangimu dan dia juga ngga anak mami kayak aku. Hahaha. Aku sayang kamu Ay J “.
Itulah isi surat yang Fanny berikan padaku. Hampir tiap malam aku membacanya hingga aku bisa menghapal isi surat itu. Setiap kali kubaca, air mata ini jatuh. Sakit? Pasti! Kecewa? Banget! Kesal? Apa lagi! Kucoba untuk mulai melupakan kenangan 4 bulan itu dan mulai membuka hati buat orang lain.
7 tahun kemudian....
“Ay, tolong besok kamu temui klien kita di hotel internasional jam 9 pagi ya” kata dirut perusahaan padaku.
“Baik pak” jawabku. Saat ini aku bekerja di salah satu perusahaan asing. Tugasku menemui klien yang datang dari luar negeri. Boleh dibilang bahasa inggrisku cukup bagus. Entah kenapa saat aku mendengar negara Ratu Elizabeth itu aku selalu teringat pada Fanny. “Gimana ya kabarnya disana?” pikirku. Aku sudah punya pacar bahkan rencananya kami akan menikah bulan depan. Dia rekan satu kerjaku yang dipindahtugaskan ke cabang lain. Namanya Pasco Brata. Sudah hampir 3 tahun kami berpacaran. Dia ngga beda jauh dari Fanny hanya saja Tata, nama panggilannya, berasal dari keluarga sederhana seperti aku.
            Teng. Tepat jam 8 pagi. Aku sudah bersiap. Pagi ini aku harus menemui seorang klien di salah satu hotel internasional di Jakarta. Aku pergi lebih awal karna takut kejebak macet. Setelah aku kerja, cara berpakaianku berubah drastis. Aku dituntut harus memakai rok dan blazer plus high heels, bahkan teman-temanku ngga kenal lagi samaku. Tiap kali ketemu, aku harus panjang lebar menjelaskan perubahanku ini pada mereka. Sumpah, melelahkan banget. Tapi aku masih seperti Ayuke yang dulu yang always no on time. 08.47 tepat aku sudah sampai lebih dulu di hotel. Aku naik lift agar cepat sampai di ruangan meeting. Tapi karna aku kebingungan mencari ruangannya, aku pun terlambat 15 menit pada hal aku sudah berusaha secepat mungkin sampai ditempat. Ternyata klienku itu sudah setengah jam menungguku.
I’m sorry sir I’m late” kataku dalam bahasa inggris.
It’s OK” jawabnya simpel.
Klien itu masih membelakangiku. Dia sepertinya sedang membaca. “Mmm....” tiba-tiba aku terdiam saat klien itu membalikkan badannya. “Fanny?” kataku dalam hati. Tanpa sengaja dokumen yang aku pegang lepas dari tanganku karna saking kagetnya. Kaget setengah mati. Fanny kelihatan berubah. Dia tak memakai kaca mata lagi. Bahkan aku tak melihat maminya ada didekatnya. “Ayuke?” kata Fanny sambil melangkah mendekatiku. Aku masih diam mematung. Lalu Fanny mengumpuli dokumenku yang sudah berserakan itu di lantai. “Are you OK?” kata Fanny menyadarkanku. “I’m OK. Sorry” balasku sambil mengumpulkan dokumenku itu. Aku tak percaya aku bisa bertemu lagi dengan Fanny. Namun diwajahnya aku menangkap suatu kesedihan yang amat teramat dalam. Aku dan Fanny pun mulai membahas kerja sama perusahaan. Setelah itu Fanny mengajakku makan siang di salah satu restoran Jepang. Dia bercerita tentang kehidupannya selama disana bahkan dia mengatakan kalo maminya sudah meninggal tahun lalu, sedangkan Fanny baru bercerai dari istrinya. Aku kaget ternyata Fanny sudah menikah. Fanny juga mengatakan alasannya pergi tanpa alasan padaku karna sakit maminya yang mulai parah dan dia ingin membahagiakan maminya dengan menuruti semua keinginan sang mami.   
Setelah di hotel itu, kami jadi sering bertemu. Fanny masih saja seperti dulu, tidak suka makan di pinggir jalan, sebelum makan dia memeriksa makanannya, dia juga setia membawa tisu kemana pun dia pergi bahkan “kata mami” pun tak luput kalimatnya. Tapi aku menyukai semuanya itu. Lalu aku memberikan undangan pernikahanku pada Fanny. Bagaimana pun aku sudah tidak punya perasaan lagi pada Fanny, karna aku sudah punya  Tata yang setia membantuku melupakan Fanny. Kuakui Fannylah cinta pertamaku. Fanny tersenyum melihat undangan pernikahanku dan memberikan selamat. “Aku pikir setelah aku pulang kita bisa bersama lagi saat dulu, tapi ternyata penantianku sia-sia, kamu sebentar lagi akan menjadi milik orang lain. Semoga kamu bahagia Ay” kata Fanny. Raut kekecewaan terlihat jelas diwajahnya. “Makasih Fan. Aku harap kamu juga” balasku sambil memegang tangannya dan tersenyum.

            Gaun pengantin yang tampak cantik dengan laced rapat di bagian bahu, dada dan pinggang. Bagian bawah gaun tampak ringan tanpa meninggalkan kesan feminin karya Elie Saab. Sarung tangan Laced yang terbuat dari satin juga menghiasi tanganku. Kepalaku diperindah dengan kerudung putih yang menjadi simbol bagi para wanita sebagai tanda sucinya sebuah pernikahan. Saat sedang duduk di depan cermin, Fanny datang. Saat itu dia tampan sekali mengenakan Laxmi Tailor 15 dilengkapi dasi kupu-kupu dan sarung tangan putih. Aku meminta Fanny sebagai wali nikahku karna ayahku sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Hampir saja aku membatalkan pernikahanku karna aku terpesona melihatnya. Tata sudah tiba di gereja. Tata mengenakan baju pengantin serba putih koleksi Vertus 86. Lira masuk ke ruangan pengantin memberitahuku kalo pemberkatannya akan dimulai. “Lo cantik banget Ay” puji Lira sambil mengenggam jemari tanganku. “Thanks Ra. Lo juga cantik kok hari ini” balasku memujinya.

            Didampingi Fanny, aku mulai berjalan diatas red carpet diiringi musik Mendelssohn's Wedding March yang menjadi musik pengiring pernikahan paling populer di dunia saat ini. Sesampainya di altar, Fanny menyerahkanku sepenuhnya pada Tata. Dihadapan sang pastor, kami diberkati dalam pernikahan suci. Setelah itu aku dan Tata saling menyematkan cincin pernikahan sebagai simbol ikatan yang tidak akan berakhir. Lalu kami berjalan keluar gereja. Di depan gereja aku membelakangi tamu undangan, terutama wanita, lalu melempar bunga pengantin ke belakang. Aku ngga tau siapa yang mendapatkan bunga itu karna saat itu Lira, Weila dan Olive saling berebutan. Aku harap mereka juga bisa bahagia bersama pasangannya. Seperti tradisi dari barat, aku dan Tata berciuman, semua undangan bersorak sorai. Burung-burung berkicau merdu seakan mengucapkan selamat.

            Aku dan Tata pun hidup bahagia. Fanny kembali ke Inggris karna semua keluarganya ada disana. Setelah aku menikah, Lira, Weila dan Olive pun menyusulku ke pelaminan. Sekian J


 NB: cerpen ini pernah saya ikutkan dalam lomba, namun saya belum beruntung. Untuk teman-teman yg punya hobi menulis, jangan berhenti melahirkan karya-karya terbaikmu. Good luck. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar