JANJI
oleh : Indah Simanjuntak
oleh : Indah Simanjuntak
Jessicha
alias Soe Mei Lan baru saja tiba di Bandara Polonia. Ini pertama kalinya Icha,
panggilan akrabnya menginjakkan kaki di Indonesia. Icha yang selama ini tinggal
di Tokyo bersama kedua orang tuanya berlibur ke Indonesia untuk menemui kakek
dan neneknya. Icha yang baru saja belajar bahasa Indonesia itu sedikit
kewalahan berkomunikasi dengan masyarakat pribumi, Icha pun terpaksa memakai
bahasa inggris. “Excuse me?” tanya
Icha pada seorang pria yang juga baru saja sampai di bandara. “Ya. Ada apa
mbak?” jawabnya lembut. “Do you know this
address?” tanya Icha lagi sambil memberikan selembar kertas kecil padanya. Pria
itu membacanya lalu dengan spontan dia menjawab, “Ya aku tau. Disini aku
dilahirkan. Bagaimana kalo kau ikut denganku aja? Alamat ini dekat sama
rumahku, hanya jauh dikitlah”. Pria ini memakai bahasa isyarat karna dia tidak
mengerti bahasa inggris sama sekali. Icha yang mengerti apa yang dimaksud sama
pria ini akhirnya pun ikut bersamanya.
Selama
perjalanan Icha menikmati keindahan alam Indonesia yang begitu asri dan indah.
Alam yang diselimuti kehijauan dan udara yang begitu segar. 4 jam perjalanan
tanpa terasa Icha sudah sampai ditujuan. Kota kecil yang jauh dari kemacetan
dan tindak kriminal. Belum ada mall. Masih jauh dari kemajuan. Inilah Kota
Perdagangan yang terletak di Kabupaten Simalungun.
Mereka
naik becak untuk masuk ke desa ini karna angkot yang mereka naiki berhenti di
loket. Pengalaman pertama Icha naik becak. Memasuki jalan yang sudah di aspal,
sebelah kanan ada rumah warga dan sebelah kirinya masih ada lahan kosong yang
dipenuhi dengan pepohonan.
“Nah,
ini rumah yang kau cari mbak” kata pria itu pada Icha. Icha melihat sekitar
rumah itu. Ada sedikit keraguan dalam hatinya. Icha takut ditipu sama pria ini.
Pria ini juga merasa kalau Icha takut padanya. Akhirnya pria ini turun dari
becak dan memanggil si pemilik rumah. “Wak Acong! Wak A....cong!” teriak pria
ini dengan sedikit nada bernyanyi. Icha tersenyum melihatnya. “Hayya. Kenapa kau
teriak-teriak?” kata seorang pria tua dengan logat Cina saat keluar dari
rumahnya. Icha kaget saat melihat pria tua itu. Ternyata dia kakeknya. Karna
saking kangennya sudah lama tidak bertemu, Icha langsung turun dari becak dan
berlari menghampiri pria tua itu dan memeluknya. “Kakek” teriak Icha sedikit
fasih mengucapkannya. Pria tua itu bingung. Kemudian istrinya keluar rumah
dengan langkah tergesa-gesa. “Cong, cucu kita dari Tokyo katanya mau datang
kemari” kata wanita tua padanya. Dia
heran melihat suaminya
dipeluk perempuan lain.
Dengan cepat dihampirinya perempuan itu. “Dia siapa Cong?” tanya istrinya lagi.
Icha mendengar suara neneknya lalu dilepas pelukannya itu dari kakeknya.
“Nenek?” teriak Icha lagi. Wanita tua itu mengenal Icha karna dia sudah melihat
foto cucunya ini. “Soe Mei Lan!” teriak wanita tua itu keras dan langsung
memeluknya erat. Wak Acong dan pria itu saling bertatapan bingung. Setelah
hampir 5 menit berpelukan, akhirnya mereka melepas pelukannya. “Ini Soe Mei
Lan. Cucu kita” kata wanita tua itu pada suaminya. “Apa? Ini Mei Mei kecilku?”
tanya sang suami padanya. “Mmm” jawab wanita tua itu sambil mengangguk. Wak
Acong pun langsung memeluk Icha sambil tertawa senang. “Ternyata kau sudah
besar Mei Mei. Kakek rindu kali samamu” gerutu sang kakek. “Aku juga kek” jawab
Icha senang.
***
“Mo
pigi mana ka?” teriak suara anak laki-laki Papua pada seorang temannya.
“Beta
mo kesana. Kamong?” jawab anak laki-laki berkulit hitam dan berambut keriting
itu.
“Tu
son jo ho. Marmeam satur hita di son. Beta!” sambung anak laki-laki berlogat
batak.
“Asso.
Beta mo pi jemput usy” jawabnya lagi.
“EPENKAH!”
teriak mereka pada anak laki-laki Ambon itu. Mereka menertawainya. EPENKAH itu
singkatan dari bahasa gaulnya masyarakat Papua yang artinya Emang Pentingkah.
Karna kesalnya dia pun menjawab, “Itu Lagi!”. Kadang kalimat “Itu Lagi” digunakannya jika dia bercerita
dan malas mengomentari.
Icha senang melihat
anak-anak itu bermain sambil tertawa. Sudah beberapa hari Icha di rumah kakeknya,
tapi Icha belum dapat teman disana. Sang nenek melihatnya mengintip dari
jendela rumah lalu menghampirinya. “Hayya. Jangan cuma disini aja. Mainlah
keluar gabung sama anak-anak. Nanti kamu bosan disini terus” celoteh nenek
menghiburnya. Icha senang nenek mengijinkannya main bersama anak-anak itu. Icha
pun berlari keluar rumah dan menghampiri anak-anak itu yang tengah asyik
bermain catur dibawah pohon seri. “Hai” sapa Icha pada mereka. “Ko sapa?” tanya
anak laki-laki Papua padanya. “Mmm.... Aku Jessicha or call me Icha. I've just come
from
Tokyo three days ago. Boleh aku main sama
kalian?” jawab Icha dengan bahasa Indo-Inggrisnya. “Kumaha atuh. Salira boleh
euy main sama kami” jawab anak perempuan Sunda itu dengan lembut. Icha
tersenyum lalu berkata ,” Kalau nama kalian siapa?”. “Namaku Ucok! Sebenarnya
nama lengkapku Tahan Sagala, tapi kawan-kawanku ini suka kali manggil aku Ucok”
ceplos Ucok dengan khas bataknya yang kental. Icha menahan tawanya mendengar
cara Ucok bicara. “Hai Ucok. Nice too
meet you” kata Icha sambil menyalam Ucok dan tersenyum padanya. Ucok yang
kelihatan bingung apa yang dikatakan Icha tak mau ambil pusing dan menyalam
tangan Icha yang mulus itu. “Aku Mesak” sambungnya sambil menyalam Icha. “Saya
Mimin. Senang berkenalan sama kamu Icha” jawab Mimin sambil menyalami Icha.
Sebenarnya ada satu lagi teman dekat mereka yaitu si Kriwil. Mereka 4 sekawan
dengan suku berbeda-beda. Ada batak, papua, sunda dan ambon. Mereka berteman
dari kecil hingga sekarang. Meski pun berbeda suku, etnis, agama, ras, dll,
tapi mereka tetap solid dan mereka jarang atau hampir bahkan tidak pernah
berantem. Mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Mesak, Kriwil dan Mimin
pendatang di Kelurahan Perdagangan III, sedangkan Ucok asli warga setempat. Di
desa tempat mereka tinggal mayoritas beragama kristen tapi warga setempat
saling menghargai agama atau pun suku lain. Mereka hidup rukun dan akur. Saling
membantu warga lain bila mereka mengalami kemalangan atau musibah. Walau pun
jauh dari kesan kota metropolitan, tapi mereka bahagia bisa tinggal disini.
Icha senang bermain dengan 4
sekawan ini. Dari pagi sampai malam Icha menghabiskan waktunya bermain bersama
mereka. Ucok, dkk, mengajak Icha naik becak mandi-mandi ke Sungai Lobang atau
yang lebih dikenal dengan sebutan sunglo di Kerasaan. Jaraknya setengah jam
dari Perdagangan. Mereka naik becak milik pamannya Kriwil yang dibawa langsung
sama Kriwil sendiri. Becak yang biasanya maksimal untuk 2 penumpang itu
melebihi kapasitas. Icha dan Mimin duduk dibangku, sedangkan Ucok duduk
dibelakang Kriwil dan Mesak duduk pas di pintu masuk becak. Mereka tidak takut
ditilang polisi pada hal di simpang sunglo itu ada pos polisi. Setibanya di
sunglo, Mesak, Ucok, Mimin dan Kriwil langsung lompat ke dalam sungai dan
berenang bersama teman-teman mereka yang lain. Icha tidak berenang, dia bingung
melihat temannya berenang pakai baju kaos dan celana pada hal yang Icha tahu
biasanya berenang itu pakai baju renang di kolam renang dan bukan di sungai.
Icha cuma bisa melihati temannya berenang dari pinggir sungai. Icha belum
pernah mandi di sungai selama hidupnya karna yang dia tahu sungai itu kotor dan
banyak bakteri. Mimin memaksa Icha ikut mandi, tapi akhirnya Icha mau karna
Icha pikir kapan lagi dia bisa berenang di sungai
bersama dengan teman-temannya. Saking senangnya Icha berlari dan terjun ke
dalam sungai sambil berteriak senang. Ucok, Mesak, Kriwil dan Mimin heran
melihat Icha.
Icha bosan di rumah menunggu
4 sekawan itu pulang sekolah. Takut Icha merasa bosan di rumah, Wak Acong
mengajaknya pergi ke ladang. Disana banyak kelapa sawit dan daun singkong. Icha
membantu kakeknya menanam sayuran di ladang sambil menunggu 4 sekawan itu
pulang.
“Kamorang su balek” kata
kakak Kriwil pada 4 sekawan ini .
“Su usy” jawab Mimin dengan
bahasa ambon.
Seperti biasa, setelah
pulang 4 sekawan ini mengerjakan tugas sekolah bersama karna mereka 1 satu
kelas. 4 sekawan ini terkenal di sekolah mereka paling kocak, gokil, kompak,
baik dan setia berteman. 4 sekawan ini juga dikenal pintar dan juara kelas.
Saat mengerjakan tugas, mereka sering bercanda tapi terkadang mereka serius.
Setelah 2 jam ngerjakan tugas, mereka pun bermain. “Main apa kita?” tanya Ucok.
Mereka berpikir mencari ide buat main. Dari kejauhan Mesak melihat Icha sedang
membantu kakeknya menanam sayuran di ladang. “Itu Icha!” teriak Mesak hingga
membuat ketiga temannya itu terkejut. Tookkkkk. Ketiga temannya menjitak kepala
Mesak serentak. “Salira bikin kaget aja” kata Mimin kesal. “Aduh, sakit tau!
Maksud sa kitong bantu Icha nanam sayuran di ladang Wak Acong” kata Mesak
sambil mengelus-elus kepalanya. “Ohhh” jawab mereka serentak. 4 sekawan ini pun
menghampiri Icha dan Wak Acong yang tengah asyik menanam sayur di ladang. Icha
senang melihat 4 sekawan ini datang. Mereka menanam sayur sambil bermain di
ladang Wak Acong.
Jam 3 sore 4 sekawan dan
Icha tidur-tiduran di bawah pohon seri. “Kitong maen apa ka?” kata Mesak dengan
nada lemas. “Main kastilah yok, udah lama nggak main kita. Acem?” sahut Ucok. “Good idea. Kita main kasti yuk” sambung
Icha semangat. Ucok pun mengambil bola kasti dan tongkatnya. Mereka bermain di
samping gereja HKBP. Karna jumlah mereka ganjil, Kriwil mengajak Naomi,
kakaknya bermain dengan mereka. Icha, Mesak dan Kriwil satu tim, sedangkan
Mimin, Ucok dan Naomi satu tim. Untuk menentukan
tim yang bermain pertama, dilakukan undian yang biasa disebut suten.
Suten dilakukan oleh kedua ketua tim. Tim yang kalah dalam suten, bertugas menjaga
camp dan bola kasti dipukul oleh tim yang menang. Saat suten tim Mesak
kalah, jadi Tim Ucoklah yang bermain lebih
dulu.
Permainan bola kastinya berlangsung seru dan meriah karna banyak warga yang
menonton mereka. Mereka terhibur menontonnya karna ada adegan-adegan lucu yang
mengundang tawa. Bahkan orang tua mereka masing-masing pun turut serta jadi
penonton. Ucok berlari menyelamatkan diri tapi Icha berhasil melempar bola
kasti mengenai kakinya. Adegan lucu lainnya Icha tidak bisa memukul bola kasti
sebanyak 3 kali hingga membuat timnya kalah. Dan akhirnya tim Ucok, dkk, yang memenangkan
permainan bola kasti.
Hari
sabtu sekolah libur. Hari ini dimanfaat 4 sekawan dan Icha bermain lagi.
“Semalam seru pisan euy mainnya” kata Mimin senang. “Yeah,
you are the winner” sahut Icha
senyum. Pagi itu cuaca cerah sekali. Mereka tengah asyik membahas permainan bola kasti
semalam sambil malas-malasan dibawah pohon seri tempat mereka selalu nongkrong
tiap hari. “Mmm... main balap karung yuk?” ajak Mesak tiba-tiba. Kebiasaan
Mesak memang mengagetkan teman-temannya hingga dia selalu dapat bintang di
kepalanya. Tokkkk. Tokkkk. Tokkkk. Tokkk. Satu per satu mereka menjitak kepala
Mesak saking kesalnya. Mesak dapat 4 jitakan
di kepalanya.
“Auuhh!”.
Hari
sudah siang, mereka pun bermain balap karung. Karna halaman samping gereja HKBP
cukup luas, mereka bermain disitu karna kalau ke stadion jaraknya cukup jauh
dari rumah mereka. Kriwil minta bantuan kakaknya lagi buat jadi wasit balap
karungnya. 5 goni dan peluit sudah disiapkan. 4 sekawan ini sering bermain,
jadi alat perlengkapan main mereka selalu tersedia. Mereka 5 berdiri dibelakang
mistar. Jarak yang mereka tempuh 7 meter
ke sebrang. “Satu, dua, tiga! Prriitttt!” tiupan peluit wasit yang
menandai permainan balap karung di mulai. Mesak, Ucok, Icha, Kriwil dan Mimin
berlari dalam karung berlomba untuk sampai disebrang garis. Warga yang saat itu
tengah lewat melihat mereka bermain, warga pun jadi ikutan nonton karna balap
karung ini permainan yang mengasyikkan dan mengundang tawa juga. Ucok jatuh
karna dia menginjak goninya sendiri, sedangkan Mesak dan Mimin saling
bertabrakan hingga membuat mereka jatuh. Semua warga tertawa melihatnya.
Semakin sore semakin meriah dan semakin banyak warga yang menonton mereka
bermain balap karung. Yang jadi pemenangnya adalah Icha dan Kriwil.
Malamnya
mereka karaoke bersama diiringi gitar, rebab dan tifa. Mereka mengkolaborasikan
alat musik daerahnya masing-masing. Mereka juga menyanyikan lagu daerahnya
masing-masing. Lagu apuse, o tano batak, butet, rasa sayange, sio tantina,
bubuy bulan, dll.
Selama
mengisi liburannya di Perdagangan, banyak hal baru yang ditemukan Icha. Saat
pesta pernikahan kakaknya si Ucok, mereka menari tor-tor dan sigale-gale
bersama diiringi gonrang dicampur alat
musik modern. Bahkan mereka menari tarian budayanya masing-masing seperti jaipong,
cakalele, perang dan perisai. Mereka juga makan saksang daging babi. Mimin yang
beragama muslim tidak bisa makan saksang, jadi Mimin makan punya parsubang
(makanan khusus untuk yang tidak boleh makan daging babi).
Icha
menikmati masa liburannya. Selain mendapat banyak hal yang berharga dari
keragaman Indonesia, Icha juga mendapat 4 teman sekaligus. Namun malam itu Icha
sedih mengingat semua kenangannya bersama 4 sekawan. Lusa Icha sudah harus
balik lagi ke Tokyo karna masa liburmya sudah habis. Tanpa disadari sesuatu
jatuh dari pelupuk matanya. Begitu singkat waktu yang dirasakannya bersama 4
sekawan ini. Wak Acong melihat cucu kesayangannya itu kelihatan sedih karna
harus pulang lusa ke Tokyo. Dihampiri cucunya yang sedang duduk di depan teras
rumah pada hal jam sudah menunjukkan pukul 23.38 malam. Icha menatapi bintang dan
galaksi lainnya di langit hitam. Wak Acong menemani cucunya sambil bercerita tentang
kedua orang tuanya disana.
Keesokan
harinya, setelah pulang sekolah Mimin mengajak Icha bermain congklak. Sambil
berteduh dibawah pohon seri mereka bermain congklak karna saat itu harinya
panas sekali. Mimin mengajari Icha bermain congklak, sedangkan Mesak, Ucok dan
Kriwil tengah asyik memanjat pohon seri dan bernyanyi diatas pohon sambil
memakani buah seri yang kecil dan manis itu. Muka Icha kelihatan kusam hari
itu. Mimin merasa ada yang beda dari Icha. “Kamu kenapa Icha. Muka kamu
kelihatan pucat” kata Mimin sambil memegang wajah Icha. Icha cuma tersenyum.
Icha kembali melanjutkan bermain congklak. “I
must come back to Tokyo tomorrow” ucap Icha sedih. Icha menundukkan
kepalanya. Mimin kaget mendengarnya dan Mimin jadi ikutan sedih. Mimin teriak
pada ketiga temannya yang sedang asyik di atas pohon seri, “Hei! Besok Icha mau
balik ke Tokyo!”. Mesak, Ucok dan Kriwil terdiam. Di atas pohon mereka saling
bertatapan. Sekejab kesenangan itu sirna saat tahu besok Icha harus kembali
pulang ke Tokyo. Mereka merasa kehilangan. Mereka bertiga turun dari pohon dan
duduk bersama Mimin dan Icha. “Beneran Cha besok kau mau pulang?” tanya Ucok
penasaran. Icha tidak menjawab, dia cuma geleng-geleng kepala. Mimin memeluk
Icha erat dan menangis sejadinya. Baru 2 minggu mereka mengenal Icha tapi
mereka sudah sangat menyayangi Icha. Mesak, Ucok dan Kriwil pun ikut memeluk
Icha. Kakek dan nenek Icha dari rumah melihat mereka berlima berpelukan dan
mereka kelihatan sedih sekali.
Jam
8 Icha harus berangkat ke Medan. Icha sedih teman-temannya tidak bisa mengantar
kepergiannya ke bandara karna mereka sekolah. Selama di perjalanan Icha diam dan tidak mengobrol
pada kakek-neneknya. Bahkan Icha menangis dan memeluk neneknya. Wak Acong pun
jadi sedih melihat cucunya menangis. Akhirnya mereka pun sampai di Bandara
Polonia. Icha berharap 4 sekawan itu datang melihat kepergiannya, namun hari
itu dia tidak melihat kemunculan mereka. Hatinya jadi semakin sedih. Matanya
bengkak dan merah. Jadwal keberangkatan pesawatnya jam 2 siang. Icha makan
siang bersama kakek dan neneknya didekat
sekitar bandara. Setelah itu mereka masuk ke dalam bandara mengantar Icha. Langkah
Icha lunglai dan Icha selalu melihat ke belakang berharap 4 sekawan itu muncul
tiba-tiba. “Soe Mei Lan!”. Langkah Icha dan kakek-neneknya terhenti. Ada yang
memanggil nama Cinanya. Icha menoleh ke belakang. Senyum Icha kembali hadir
saat tahu kalau yang memanggil namanya adalah 4 sekawan. Mereka melambaikan
tangan pada Icha dan Icha membalas melambaikan tangan sambil tertawa. 4 sekawan
berlari menghampirinya. “Wow! You are so
beautiful” kata Ucok memuji Icha dengan logat bataknya. Mereka tertawa mendengarnya.
“Katong pung hadiah buat ale” kata
Kriwil dengan bahasa ambonnya. “What’s
that?” tanya Icha penasaran. “Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi Icha”
sambung Mimin. “I hope we can gather
again dan play together” sahut Icha. Ucok memakaikan ulos di tubuhnya Icha.
“Inilah cinderamata dariku. Aku harap kita bisa berjumpa lagi. Sayang aku
samamu Icha” kata Ucok sedih lalu memeluknya. Mesak memberi tifa kesayangannya
buat Icha. “Tifa ini barang kesayanganku. Jaga ya sampai kita bertemu lagi”
kata Mesak sambil memeluk Icha. Mesak menyukai Icha karna Icha cantik dan baik,
tapi Icha tidak mengetahui hal ini, cuma 4 sekawan yang tahu. Cukup lama Mesak
memeluk Icha hingga membuat Kriwil menariknya. “Cari-cari kesempatan ale yo”
katanya pada Mesak. Mereka tertawa. Mimin memberikan cinderamata T-shirt yang bergambar Villa Isola dari
Bandung dan Mimin memeluk Icha. Kriwil memberi bingkai berisi foto mereka
berlima saat bermain balap karung. Icha semakin sedih saat melihat foto itu
lalu memeluk 4 sekawan dengan erat. Saat itu haru sekali, semua orang melihati
mereka. Icha tidak memberikan apa-apa tapi Icha berjanji akan kembali lagi pada
mereka. “I promise I’ll be back for you”.
Akhirnya waktunya pun tiba, Icha harus masuk ke dalam bandara karna sebentar
lagi pesawatnya akan terbang transit ke Jakarta. Sebelum pergi, Icha memeluk
kakek dan neneknya. Icha menyuruh Mimin memotonya bersama kakek dan neneknya.
Setelah berfoto, Icha pun masuk ke dalam. Air mata tidak bisa terbendung lagi.
Mereka semua menangis, Icha pun begitu. Mereka melihat keberangkatan pesawat
Icha, setelah melihatnya mereka pun kembali pulang ke Perdagangan.
=
bersambung =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar