Me vs
English
Salah satu hal yang
harus kita persiapkan untuk menghadapi pasar bebas tahun depan adalah pintar
berbahasa inggris. Yes, of course! Kita tahu bahasa inggris adalah bahasa
internasional yang selalu digunakan oleh negara mana pun itu. Bahkan dunia
kerja di negara kita sendiri pun membutuhkan tenaga kerja yang mahir dalam
berbahasa inggris. Tidak salah bila banyak kursus bahasa inggris menjamur saat
ini dan orang berlomba-lomba belajar bahasa inggris.
Namun itu berbeda
denganku. Bahasa inggris memang pelajaran favoritku saat aku sekolah, namun
karena pacarku memaksaku harus pintar berbahasa inggris maka sekarang aku anti
sekali dengan bahasa yang akrab dengan dunia itu. Bayangkan saja apa yang
dilakukan pacarku denganku bila aku tidak tahu tensis, dia tidak segan
memarah-marahiku hingga mengancam akan menutup telepon jika aku tidak tahu.
Yang lebih kesalnya lagi dia memintaku untuk menghapal dan mempelajari keenam
belas tensis itu karena bila kita sudah paham tensis maka kita dengan mudah
dapat berbahasa inggris dengan lancar katanya padaku.
Kesibukanku sebagai
orang nomor satu di salah satu organisasi kampus menyita hampir semua waktuku
termasuk merampas kebebasanku. Yaa… seharian di kampus dilanjut lagi dengan menjalankan
program organisasi melupakanku akan tugas yang diberikan oleh pacarku. Aku
selalu berpikir tidak ada kata terlambat untuk menimba ilmu, dan karena prinsip
itu pula aku selalu mengatakan masih ada hari esok dan selalu esok, esok dan
esok, dan akhirnya aku pun lupa untuk belajar.
Time is money. Yupp!
Tapi sepertinya peribahasa itu tidak berlaku untukku. Dalam benakku tersirat
kalimat yang berbunyi, “lakukanlah apa yang bisa kamu lakukan saat ini karena
esok belum tentu kamu bisa melakukannya.” Yang kupahami dari kalimat itu yaitu aku
bebas menghabiskan waktuku dari hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit hingga
detik ke detik dengan melakukan hal-hal yang aku suka.
Tidur-nonton-online-bengong,
tidur-nonton-online-bengong, tidur-nonton-online-bengong, dan begitulah
seterusnya hingga tahun silih berganti. Semula kurasa nyaman dengan kehidupan
seperti itu, tapi bila terus-terusan melakukannya aku seperti orang bodoh
karena menyia-nyiakan waktuku. Akhirnya aku kembali ke hobiku yang pernah
kuteladani sejak dua tahun yang lalu yaitu menulis dan mengikuti lomba-lomba di
internet.
Back to the topic. Aku
pikir aku tidak punya waktu untuk belajar bahasa inggris karena dari hari senin
hingga minggu aku sibuk sekali. Aku ingat kalau belum belajar bahasa inggris
jangan coba-coba menelepon pacarku karena aku pasti akan disembur dengan
kata-kata manisnya namun menusuk. Tapi bila tidak meneleponnya sehari saja aku
rindu setengah mampus. Jadi mau gak mau aku pasti meneleponnya walau pun dengan
terpaksa aku harus belajar bahasa inggris dengannya via telepon.
***
“Aarrggghh!!! Aku telat
bangun!” teriakku kesal sambil melihat jam di henponku menunjukkan pukul
sepuluh lewat sepuluh pas. Hari ini aku kuliah jam sepuluh lebih sepuluh menit.
Walau pun sudah telat aku masih belum bergerak untuk bersiap-siap ke kampus.
Aku masih tidur santai tanpa dosa diatas kasurku. Kasurku masih setia
memberikan kenyaman hingga ia tak ingin aku beranjak meninggalkannya. Sembari
menanyakan kabar di kampus, aku merenungi penyebab aku telat bangun.
Jam
6.38 aku terpaksa bangun karena belakangan ini air sering mati jadi mau tak mau
harus menampung air tiap malam. Aku takut tidak kebagian air kalau lama bangun.
Ingat kalau tadi malam aku tidak mandi, dengan mata kantuk aku paksakan untuk bangun
lalu mandi. Tepat jam 7.00 aku selesai mandi. Walau pun sudah mandi tapi mata
ini masih saja butuh tidur. So tidurnya aku lanjut lagi sembari menunggu 3 jam
lagi kuliah. Dengan posisi tidur telungkup sambil memeluk bantal guling karena
rambutku masih basah. Hampir sejam tidur, aku berganti posisi dan rasanya sakit
sekali badan ini karena posisi tidurku yang salah. Aku sempat bangun untuk
mengecek jam. Saat itu jam 8.17. Aku pikir masih lama lagi jam sepuluh jadi aku
lanjut tidur hingga akhirnya terlambat bangun.
“Ya ampun karena malasku
aku telat bangun” kataku dalam hati.
Tidak ada kabar dari
teman, aku pun bergegas menyiapkan diri ke kampus. Dan kali ini aku cukup
beruntung karena ternyata si dosen tidak masuk.
***
Seperti biasa aku
sarapan bersama temanku di bepeka haleluya. Itu makanan khas medan dengan menu
utama babi. Sambil bercerita kami menunggu kuliah berikutnya. Nada dering
pesanku berbunyi memberitahu ada pesan masuk. Lalu aku membuka pesan itu. “Dek,
udah free-kah?” isi pesan itu. Aku ingat kalau tadi malam aku punya janji dengan
kakak sebelah kamarku untuk mengenalkanku dengan temannya yang datang dari
Filipina. Lalu kujawab,” Udah kak. Ntar lagi aku pulang.” Dan pesan itu pun
terus berlanjut dengan kesepakatan bertemu di bekas lapangan basket kampusku.
***
Aku dan temanku malas
kuliah tapi kami ke kampus untuk mengecek kabar ter-up date. Dan ternyata si
dosen sudah masuk lebih dulu. Kami pun telat. Dari awalnya sudah malas kuliah,
aku jadi tidak menikmati pelajaran yang disampaikan si dosen. Seperti kucing
yang mau beranak, aku tidak tenang duduk di kursi. Aku merasa sedang duduk di
kursi panas lalu diserang dengan pertanyaan-pertanyaan pedas oleh om tanto
wiyahya. “Ayo dong bu buruan tutup kuliah ini, udah bosan nih” kataku dalam
hati sambil menatap kosong selembar kertas berisi bahan kuliah hari ini. Dan
akhirnya pun doaku terjawab, si dosen sepertinya malas mengajar juga hingga
kuliah dipercepatnya siap. “Yes!” kataku senang sambil memasukkan peralatan
kuliah ke dalam tas.
***
Aku menuju lapangan
basket untuk bertemu dengan kakak kos dan si orang Filipina itu. Berjabat
tangan adalah budaya kita saat berkenalan dengan orang baru atau pun sudah lama
tidak bertemu. Tanpa bertele-tele si Filipina pun nyerocos bicara dengan bahasa
inggris. Bla bla bla bla bla bla. “Ya ampun aku nggak tau apa yang
dibilanginya” gerutuku dalam hati. Lalu aku ingat pacarku, ternyata aku harus
belajar bahasa inggris. Aku seperti orang bego saat mendengarnya berbicara.
“Yes. Oh. I see.” Kalimat yang selalu kukatakan untuknya. Geleng-geleng dan
mengangguk-angguk yang bisa bahasa tubuhku lakukan sebagai pemberi isyarat padanya.
Bila aku tidak mengerti maksudnya, ia menjelaskannya lewat kakak kosku. “Untung
saja ada penerjemah” ucapku lega.
Setelah panjang lebar ia
bicara, kami sepakat besok jumpa lagi di tempat yang sama dengan waktu yang
beda. Dan setelah bertemu dengannya aku jadi berpikir harus belajar bahasa
inggris malam ini supaya besok aku tidak hanya bilang “Yes. Oh. Oke. I know.
Bla bla bla.” Dan benarlah yang dikatakan pacarku itu kalau bahasa inggris itu
PENTING.
-
The End -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar